Kelompok suku asli di Papua terdiri dari 25 suku, dengan bahasa yang masing-masing berbeda. Suku-suku tersebut antara lain:
PAPUA
Minggu, 09 November 2014
Jika dilihat dari karakteristik budaya, mata pencaharian dan pola
kehidupannya, penduduk asli Papua itu dapat dibagi dalam dua kelompok
besar, yaitu Papua pegunungan atau pedalaman, dataran tinggi dan Papua
dataran rendah dan pesisir. Pola kepercayaan agama tradisional
masyarakat Papua menyatu dan menyerap ke segala aspek kehidupan, mereka
memiliki suatu pandangan dunia yang integral yang erat kaitannya satu
sama lain antar dunia yang material dan spiritual, yang sekuler dan
sacral dan keduannya berfungsi bersama-sama.
Kelompok suku asli di Papua terdiri dari 25 suku, dengan bahasa yang masing-masing berbeda. Suku-suku tersebut antara lain:
Kelompok suku asli di Papua terdiri dari 25 suku, dengan bahasa yang masing-masing berbeda. Suku-suku tersebut antara lain:
Salah satu senjata tradisional di Papua adalah Pisau Belati. Senjata ini terbuat dari tulang kaki burung kasuari dan bulunya menghiasi hulu Belati
tersebut. senjata utama penduduk asli Papua lainnya adalah Busur dan
Panah. Busur tersebut dari bambu atau kayu, sedangkan tali Busur terbuat
dari rotan. Anak panahnya terbuat dari bambu, kayu atau tulang
kangguru. Busur dan panah dipakai untuk berburu atau berperang.
Pisau Belati Papua
Sebagai orang Indonesia tentunya kita mengenal beberapa bentuk rumah adat yang ada di Indonesia, salah satunya rumah adat Papua
atau yang biasa disebut Honai. Rumah ini dimiliki oleh suku Dani. Rumah
Honai ini terbuat sepenuhnya dari bahan-bahan yang ada di alam, dengan
material kayu pada badan rumah dan jerami sebagai bahan dari atap nya.
Rumah ini terlihat tertutup karena tidak dilengkapi dengan jendela,
karena memang fungsinya adalah untuk melindungi suku Dani yang tinggal
di dalamnya dari udara dingin pegunungan Papua.
Rumah Adat Papua dan Uraiannya
Dengan tinggi sekitar 2 – 2.5 meter, rumah adat dari Papua
terdiri dari 2 lantai. Lantai pertama biasanya terdiri dari kamar-kamar
dan digunakan sebagai tempat tidur, dan lantai kedua digunakan sebagai
tempat beraktifitas: ruang santai dan lain-lain. Di tengah ruangan di
lantai pertama terdapat api unggun yang digunakan untuk menghangatkan
diri. Rumah adat Papua Honai merupakan rumah dengan arsitektur yang
sederhana, inti dari rumah ini adalah rumah yang melindungi orang-orang
yang tinggal di dalamnya dari udara dingin, tanpa fungsi rumit lainnya.
Kesederhanaan ini mungkin yang dijadikan patokan utama bagi suku Dani
untuk membangun rumah Honai mereka, karena mereka termasuk jenis suku
yang kerap kali berpindah tempat. Kesederhanaan desain dan bentuk Honai
memudahkan mobilitas mereka.
Jenis-Jenis Rumah Adat Papua
Rumah Honai terdiri dari 3 jenis, yaitu rumah untuk para lelaki (disebut Honai), rumah untuk para wanita (disebut Ebei), dan rumah untuk ternak mereka, babi (disebut Wamai). Ada juga beberapa orang Papua yang tidak lagi tinggal di rumah adat Papua seperti pakem yang dulu ada, dan tinggal bersamaan antar anggota keluarga inti, namun ternak/babi selalu mendapatkan rumah tersendiri. Bagi orang Papua, ternak merupakan harta yang sangat berharga.
Rumah adat provinsi Papua sebenarnya hanya ada 1 jenis saja, yaitu Honai itu sendiri. Jika terdapat beberapa perbedaan, itu dikarenakan perbedaan daerahnya saja dan perbedaannya tidak begitu mencolok. Rumah Honai dibuat berkelompok, karena kadang satu keluarga membutuhkan lebih dari satu rumah untuk tempat ternak mereka tinggal, dan anak-anak yang sudah akil baligh/dewasa. Dilihat dari arsitekturnya yang sederhana, rumah ini berbentuk hampir seperti kerucut dengan batu-batu kecil mengelilingi rumah tersebut.
Keunikan khasanah kebudayaan bangsa tercermin dari banyaknya jenis rumah yang ada di Indonesia. Walaupun Honai merupakan rumah asli suku Dani, kita dapat menjumpainya di beberapa museum yang tersebar di Indonesia dikarenakan banyak juga orang yang penasaran atau ingin tahu jenis rumah suku Dani papua ini. Honai dan rumah-rumah adat suku lainnya merupakan bukti kekayaan budaya bangsa kita yang patut kita ketahui.
Rumah Adat Papua dan Uraiannya
Dengan tinggi sekitar 2 – 2.5 meter, rumah adat dari Papua
terdiri dari 2 lantai. Lantai pertama biasanya terdiri dari kamar-kamar
dan digunakan sebagai tempat tidur, dan lantai kedua digunakan sebagai
tempat beraktifitas: ruang santai dan lain-lain. Di tengah ruangan di
lantai pertama terdapat api unggun yang digunakan untuk menghangatkan
diri. Rumah adat Papua Honai merupakan rumah dengan arsitektur yang
sederhana, inti dari rumah ini adalah rumah yang melindungi orang-orang
yang tinggal di dalamnya dari udara dingin, tanpa fungsi rumit lainnya.
Kesederhanaan ini mungkin yang dijadikan patokan utama bagi suku Dani
untuk membangun rumah Honai mereka, karena mereka termasuk jenis suku
yang kerap kali berpindah tempat. Kesederhanaan desain dan bentuk Honai
memudahkan mobilitas mereka.Jenis-Jenis Rumah Adat Papua
Rumah Honai terdiri dari 3 jenis, yaitu rumah untuk para lelaki (disebut Honai), rumah untuk para wanita (disebut Ebei), dan rumah untuk ternak mereka, babi (disebut Wamai). Ada juga beberapa orang Papua yang tidak lagi tinggal di rumah adat Papua seperti pakem yang dulu ada, dan tinggal bersamaan antar anggota keluarga inti, namun ternak/babi selalu mendapatkan rumah tersendiri. Bagi orang Papua, ternak merupakan harta yang sangat berharga.
Rumah adat provinsi Papua sebenarnya hanya ada 1 jenis saja, yaitu Honai itu sendiri. Jika terdapat beberapa perbedaan, itu dikarenakan perbedaan daerahnya saja dan perbedaannya tidak begitu mencolok. Rumah Honai dibuat berkelompok, karena kadang satu keluarga membutuhkan lebih dari satu rumah untuk tempat ternak mereka tinggal, dan anak-anak yang sudah akil baligh/dewasa. Dilihat dari arsitekturnya yang sederhana, rumah ini berbentuk hampir seperti kerucut dengan batu-batu kecil mengelilingi rumah tersebut.
Keunikan khasanah kebudayaan bangsa tercermin dari banyaknya jenis rumah yang ada di Indonesia. Walaupun Honai merupakan rumah asli suku Dani, kita dapat menjumpainya di beberapa museum yang tersebar di Indonesia dikarenakan banyak juga orang yang penasaran atau ingin tahu jenis rumah suku Dani papua ini. Honai dan rumah-rumah adat suku lainnya merupakan bukti kekayaan budaya bangsa kita yang patut kita ketahui.
Kamis, 06 November 2014
1. Ikan Bakar Manokwari
Sesuai dengan namanya, Ikan Bakar Manokwari adalah makanan khas Manokwari, Papua. Tidak seperti ikan bakar yang biasa kita temui di kebanyakan warung ataupun rumah makan, ikan bakar ini memiliki rasa khas yang bisa membuat lidah bergoyang karena tambahan sambal khas Papua yang disiramkan di atasnya. Ikan yang biasa dijadikan bahan masakan ini adalah ikan tongkol.
2. Papeda
Papeda atau Bubur Sagu, merupakan makanan pokok masyarakat Maluku dan Papua. Makanan ini terdapat di hampir semua daerah di Maluku dan Papua.
Papeda dibuat dari tepung sagu.
3. Kue Sagu (Bagea)
Kue Sagu atau Bagea adalah kue yang berasal dari papua, bahan dasar pembuatan kue ini adalah tepung sagu. Kue sagu ini agak keras saat digigit tetapi kalau sudah ada di dalam mulut atau di celup ke air akan cepat lunak/ lembek.
Sesuai dengan namanya, Ikan Bakar Manokwari adalah makanan khas Manokwari, Papua. Tidak seperti ikan bakar yang biasa kita temui di kebanyakan warung ataupun rumah makan, ikan bakar ini memiliki rasa khas yang bisa membuat lidah bergoyang karena tambahan sambal khas Papua yang disiramkan di atasnya. Ikan yang biasa dijadikan bahan masakan ini adalah ikan tongkol.
2. Papeda
Papeda atau Bubur Sagu, merupakan makanan pokok masyarakat Maluku dan Papua. Makanan ini terdapat di hampir semua daerah di Maluku dan Papua.
Papeda dibuat dari tepung sagu.
3. Kue Sagu (Bagea)
Kue Sagu atau Bagea adalah kue yang berasal dari papua, bahan dasar pembuatan kue ini adalah tepung sagu. Kue sagu ini agak keras saat digigit tetapi kalau sudah ada di dalam mulut atau di celup ke air akan cepat lunak/ lembek.
1. Pesta Bakar Batu
Pesta
Bakar Batu mempunyai makna tradisi bersyukur yang unik dan khas. dan
merupakan sebuah ritual tradisional Papua yang dilakukan sebagai bentuk
ucapan syukur atas berkat yang melimpah, pernikahan, penyambutan tamu
agung, dan juga sebagai upacara kematian. Selain itu, upacara ini juga
dilakukan sebagai bukti perdamaian setelah terjadi perang antar-suku.
Sesuai
dengan namanya, dalam memasak dan mengolah makanan untuk pesta tersebut,
suku-suku di Papua menggunakan metode bakar batu. Tiap
daerah dan suku di kawasan Lembah Baliem memiliki istilah sendiri untuk
merujuk kata bakar batu. Masyarakat Paniai menyebutnya dengan gapii
atau ‘mogo gapii‘, masyarakat Wamena menyebutnya kit oba isago,
sedangkan masyarakat Biak menyebutnya dengan barapen. Namun tampaknya barapen menjadi istilah yang paling umum digunakan.
Pesta
Bakar Batu juga merupakan ajang untuk berkumpul bagi warga. Dalam pesta
ini akan terlihat betapa tingginya solidaritas dan kebersamaan
masyarakat Papua. Makna lain dari pesta ini adalah sebagai ungkapan
saling memaafkan antar-warga.
Prosesi
Pesta Bakar Batu biasanya terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap
persiapan, bakar babi, dan makan bersama. Tahap persiapan diawali dengan
pencarian kayu bakar dan batu yang akan dipergunakan untuk memasak.
Batu dan kayu bakar disusun dengan urutan sebagai berikut, pada bagian
paling bawah ditata batu-batu berukuran besar, di atasnya ditutupi
dengan kayu bakar, kemudian ditata lagi batuan yang ukurannya lebih
kecil, dan seterusnya hingga bagian teratas ditutupi dengan kayu.
Kemudian tumpukan tersebut dibakar hingga kayu habis terbakar dan batuan
menjadi panas. Semua ini umumnya dikerjakan oleh kaum pria.
Pada saat
itu, masing-masing suku menyerahkan babi. Lalu secara bergiliran kepala
suku memanah babi. Bila dalam sekali panah babi langsung mati, itu
merupakan pertanda bahwa acara akan sukses. Namun bila babi tidak
langsung mati, diyakini ada yang tidak beres dengan acara tersebut.
Apabila itu adalah upacara kematian, biasanya beberapa kerabat keluarga
yang berduka membawa babi sebagai lambang belasungkawa. Jika tidak
mereka akan membawa bungkusan berisi tembakau, rokok kretek, minyak
goreng, garam, gula, kopi, dan ikan asin. Tak lupa, ketika mengucapkan
belasungkawa masing-masing harus berpelukan erat dan berciuman pipi.
Memanah Babi
Di lain
tempat, kaum wanita menyiapkan bahan makanan yang akan dimasak. Babi
biasanya dibelah mulai dari bagian bawah leher hingga selangkang kaki
belakang. Isi perut dan bagian lain yang tidak dikonsumsi akan
dikeluarkan, sementara bagian yang akan dimasak dibersihkan. Demikian
pula dengan sayur mayur dan umbi-umbian.
Kaum pria
yang lainnya mempersiapkan sebuah lubang yang besarnya berdasarkan pada
banyaknya jumlah makanan yang akan dimasak. Dasar lubang itu kemudian
dilapisi dengan alang-alang dan daun pisang. Dengan menggunakan jepit
kayu khusus yang disebut apando, batu-batu panas itu disusun di
atas daun-daunan. Setelah itu kemudian dilapisi lagi dengan alang-alang.
Di atas alang-alang kemudian dimasukan daging babi. Kemudian ditutup
lagi dengan dedaunan. Di atas dedaunan ini kemudian ditutup lagi dengan
batu membara, dan dilapisi lagi dengan rerumputan yang tebal.
Menata Batu Menggunakan Apando
Setelah itu, hipere (ubi
jalar) disusun di atasnya. Lapisan berikutnya adalah alang-alang yang
ditimbun lagi dengan batu membara. Kemudian sayuran berupa iprika atau daun hipere, tirubug (daun singkong), kopae (daun pepaya), nahampun (labu parang), dantowabug atau hopak (jagung) diletakkan di atasnya. Tidak cukup hanya umbi-umbian, kadang masakan itu akan ditambah dengan potonganbarugum (buah).
Selanjutnya lubang itu ditimbun lagi dengan rumput dan batu membara.
Teratas diletakkan daun pisang yang ditaburi tanah sebagai penahan agar
panas dari batu tidak menguap.
Sekitar 60
hingga 90 menit masakan itu sudah matang. Setelah matang, rumput akan
dibuka dan makanan yang ada di dalamnya mulai dikeluarkan satu persatu,
kemudian dihamparkan di atas rerumputan. Sesudah makanan terhampar di
atas, ada orang yang akan mengambil buah merah matang. Buah itu
diremas-remas hingga keluar pastanya. Pasta dari buah merah dituangkan
di atas daging babi dan sayuran. Garam dan penyedap rasa juga ditaburkan
di atas hidangan.
Kini
tibalah saatnya bagi warga untuk menyantap hidangan yang telah matang
dan dibumbui. Semua penduduk akan berkerumun mengelilingi makanan
tersebut. Kepala Suku akan menjadi orang pertama yang menerima jatah
berupa ubi dan sebongkah daging babi. Selanjutnya semua akan mendapat
jatah yang sama, baik laki-laki, perempuan, orang tua, maupun anak-anak.
Setelah itu, penduduk pun mulai menyantap makanan tersebut.
Menikmati Sepotong Daging Babi
Pesta
Bakar Batu merupakan acara yang paling dinantikan oleh warga suku-suku
pedalaman Papua. Demi mengikuti pesta ini mereka rela menelantarkan
ladang dangan tidak bekerja selama berhari-hari. Selain itu, mereka juga
bersedia mengeluarkan uang dalam jumlah yang besar untuk membiayai
pesta ini.
Pesta ini sering dilaksanakan di kawasan Lembah Baliem, Distrik Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Indonesia.
Namun,
kepastian titik lokasi dilaksanakannya ini tidak menentu. Jika sebagai
upacara kematian maupun pernikahan, pesta ini akan dilaksanakan di rumah
warga yang memiliki hajatan. Namun, bila upacara ini sebagai ucapan
syukur atau simbol perdamaian biasanya akan dilaksanakan di tengah
lapangan besar.
Pesta Bakar Batu di Lapangan
2. Upacara Potong Jari
Tradisi
potong jari ini terjadi di papua, kesedihan saat telah ditinggal pergi
oleh orang yang dicintai dan kehilangan salah satu anggota keluarga sangat
perih. Berlinangan air mata dan perasaan kehilangan begitu mendalam.
Terkadang butuh waktu yang begitu lama untuk mengembalikan kembali
perasaan sakit kehilangan dan tak jarang masih membekas dihati. Lain
halnya dengan masyarakat pegunungan tengah Papua yang melambangkan
kesedihan lantaran kehilangan salah satu anggota keluarganya yang
meninggal tidak hanya dengan menangis saja. Melainkan ada tradisi yang
diwajibkan saat ada anggota keluarga atau kerabat dekat seperti;
suami,istri, ayah, ibu, anak dan adik yang meninggal dunia. Tradisi yang
diwajibkan adalah tradisi potong jari. Jika kita melihat tradisi potong
jari dalam kekinian pastilah tradisi ini tidak seharusnya dilakukan atau
mungkin tradisi ini tergolong tradisi ekstrim. Akan tetapi bagi
masyarakat pegunungan tengah Papua, tradisi ini adalah sebuah kewajiban
yang harus dilakukan. Mereka beranggapan bahwa memotong jari adalah
symbol dari sakit dan pedihnya seseorang yang kehilangan sebagian
anggota keluarganya.Bisa diartikan jari adalah symbol kerukunan,
kebersatuan dan kekuatan dalam diri manusia maupun sebuah keluarga.
Walaupun dalam penamaan jari yang ada ditangan manusia hanya menyebutkan
satu perwakilan keluarga yaitu Ibu jari. Akan tetapi jika dicermati
perbadaan setiap bentuk dan panjang memiliki sebuah kesatuan dan
kekuatan kebersamaan untuk meringankan semua beban pekerjaan manusia.
Satu sama lain saling melengkapi sebagai suatu harmonisasi hidup dan
kehidupan. Jika salah satu hilang, maka hilanglah komponen kebersamaan
dan berkuranglah kekuatan
3. Upacara Tanam Sasi (Papua Barat , Marauke)
Di
suku Marin, Kabupaten Merauke, terdapat upacara Tanam Sasi, sejenis
kayu yang dilaksanakan sebagai bagian dari rangkaian upacara kematian.
Sasi ditanam 40 hari setelah kematian seseorang dan akan dicabut kembali
setelah 1.000 hari. Budaya Asmat dengan ukiran dan souvenir dari Asmat
terkenal hingga ke mancanegara. Ukiran Asmat memiliki empat makna dan
fungsi, masing-masing:
1. Melambangkan kehadiran roh nenek moyang;
2. Untuk menyatakan rasa sedih dan bahagia;
3. Sebagai lambang kepercayaan dengan motif manusia, hewan, tumbuhan dan benda-benda lain;
4. Sebagai lambang keindahan dan gambaran memori nenek moyang.
1. Melambangkan kehadiran roh nenek moyang;
2. Untuk menyatakan rasa sedih dan bahagia;
3. Sebagai lambang kepercayaan dengan motif manusia, hewan, tumbuhan dan benda-benda lain;
4. Sebagai lambang keindahan dan gambaran memori nenek moyang.
4. Upacara Perkawinan
Langganan:
Postingan (Atom)